Rabu, 16 Mei 2012

Puisi pengiring Prosa Dewi Lestari

Surat yang Tak Pernah Sampai
-salah satu bagian dari Filosofi Kopi

"Suratmu itu tidak pernah terkirim, karena sebenarnya kamu hanya ingin berbicara kepada dirimu sendiri. Kamu ingin berdiskusi dengan angin, dengan wangi sebelas tangkai sedap malam yang kamu beli dari tukang bunga berwajah memelas, dengan nyamuk-nyamuk yang cari makan, dengan malam, dengan detik jam... tentang dia...."

Paragraf pertama dari tulisan Dewi Lestari dalam buku Filosofi Kopi. Awalnya, buku terbitan tahun 2006 ini gue pikir pure berisi tentang filosofi dari sebuah kopi itu sendiri, baik dari aroma, rasa, maupun warna. Ternyata tidak. Filosofi Kopi itu sendiri hanya satu buah cerita yang diletakkan pada bagian paling pertama di buku ini.
Masuk ke tulisan ketiga, gue menemukan judul "Surat yang Tak Pernah Sampai", yang baru tadi siang gue baca.
Ah~ cerita ini, seolah bukan gue baca, tapi isi hati gue yang lagi bercerita. Apa yang tertulis di dalam cerita ini sama dengan apa yang selama ini gue rasain.
Di sini, untuk beberapa paragrafnya bakal gue share dan gue selipin sebait-dua bait sajak dari gue.. :)



"Kalau saja hidup tidak berevolusi, kalau saja sebuah momen dapat selamanya menjadi fosil tanpa terganggu, kalau saja kekuatan kosmik mampu stagnan di satu titik, maka... tanpa ragu kamu akan memilih satu detik bersamanya untuk diabadikan. Cukup satu..."

Dengannya aku jatuh hati, entah itu cinta atau bukan. Persetan. Aku tak mengenal arti cinta yang sesungguhnya kepada lawan jenisku. Yang aku tahu hanyalah Tuhan seharusnya mengingatkan aku agar aku tidak salah menebak sebuah isyarat. Tuhan pasti lebih mengenalku dibandingkan dengan diriku sendiri, bahkan mungkin sedari aku dilahirkan pun Dia tahu bahwa daya ingatku cukup rendah. Kali ini dia hilang. Dia pergi membawa ingatanku, membawa rasaku, dan meninggalkan ragaku yang hanya tahu melangkah ke arahnya saja. Menyedihkan.

"... Skenario perjalanan kalian mengharuskanmu untuk sering menyejarahkannya, merekamnya, lalu memainkannya ulang di kepalamu sebagai sang Kekasih Impian, sang Tujuan, sang Inspirasi bagi segala mahakarya yang termuntahkan ke dunia. Sementara dalam setiap detik yang berjalan, kalian seperti musafir yang tersesat di padang. Berjalan dengan kompas masing-masing, tanpa ada usaha saling mencocokkan. Sesekali kalian bertemu, berusaha saling toleransi atas nama Cinta dan Perjuangan yang Tidak Boleh Sia-Sia. Kamu sudah membayar mahal untuk perjalanan ini. Kamu pertaruhkan segalanya demi apa yang kamu rasa benar. Dan mencintainya menjadi kebenaran tertinggimu."

Begitukah kamu? Yang diam-diam juga punya hati yang mau dititipkan kepadaku tapi enggan meletakkannya. Tak lihatkah kamu, aku yang bertaruh segalanya demi apa yang belum kutemukan artinya. Masih aku bertanya, apa itu cinta? Sebutkan dengan nada sedikit meninggi, maka akan kamu temukan makna yang berbeda dari tanyaku.

-seolah tak tahu, hanya engkau yang kutuju. akan kunantikan hatimu meng-iya-kanku (Sheila on 7, Tanyaku)

"Lama bagi kamu untuk berani menoleh ke belakang, menghitung, berapa banyakkah pengalaman nyata yang kalian alami bersama?..."

"...Sebuah hubungan yang dibiarkan tumbuh tanpa keteraturan akan menjadi hantu yang tidak menjejak bumi, dan alasan cinta yang tadinya diagungkan bisa berubah menjadi utang moral, investasi waktu, perasaan, serta perdagangan kalkulatif antara dua pihak..."

Kenyataan kita? Pahit. Menggerayangi malamku yang selalu bercumbu dengan layar berukuran 14 inch. Tampaknya hanya benda mati kesayanganku ini yang jelas mengetahui semua rahasiaku. Maksud tiap majas manisku. Kamu? Yang hidup tapi tampak mati, tak berhati.

Sebuah waktu yang sesungguhnya berlari tapi terasa diam. Di sini aku yang masih membungkus ingatan dengan kenangan yang lama, yang ada indahnya di sana. Yang selalu ada senyum di tiap malam berbintang. Manis, caramu membuatku tersenyum dan tak sabar menanti pagi di depan pagar rumah.

"Dia, yang tidak pernah menyimpan gambar rupamu, pasti tidak tahu apa rasanya menatap lekat-lekat satu sosok, membayangkan rasa sentuh dari helai rambut yang polos tanpa busa pengeras, rasa hangat uap tubuh yang kamu hapal betul temperaturnya..."

Satu kalimat, peluk aku! Kubagi rasa sakit jiwa ini kepadamu.

"..., kamu yakin dia akan paham, atau setidaknya setengah memahami, betapa sulitnya perpisahan yang dilakukan sendirian..."

Di situlah letak kesenanganku akan masa lalu. Paling tidak tangan kananmu masih bisa diangkat menghadap langit untuk mengantarkan aku pergi. Masa kini, bahkan menarik satu sisi ujung bibirmu pun tampak berat, hanya untuk senyuman selamat tinggal saja sayang. Duh!
Aku merajuk, meminta kata jangan pergi darimu. Dasar acuh! Tak pun kamu lempar senyum yang disampaikan pada bibirku yang tak mampu kamu cium.

"Tidak ada sepasang mata lain yang mampu meyakinkanmu bahwa ini memang sudah usai. Tidak ada kata, peluk, cium, atau langkah kaki beranjak pergi, yang mampu menjadi penanda dramatis bahwa sebuah akhir telah diputuskan bersama.
Atau sebaliknya, tidak ada sergahan yang membuatmu berubah pikiran, tidak ada kata 'jangan' yang mungkin, apabila diucapkan dan ditindakkan dengan tepat, akan membuatmu menghambur kembali dan tak mau pergi lagi.
Kamu pun tersadar, itulah perpisahan paling sepi yang pernah kamu alami."

Selayaknya sinetron, hari itu hujan. Aku bertemankan pria lain yang mengiringi kepulanganku, langkahku yang semakin menjauh darimu. Mataku yang masih terfokus pada punggungmu yang kebasahan karena tak mau berbagi pelindung denganku. Menghilang, mengecil, tak tampak, terbebani harapanku agar menatapku sebelum kelak tak bisa saling tatap.

CLOSING

"Ketika surat itu tiba di titiknya yang terakhir, masih akan ada sejumput kamu yang bertengger tak mau pergi dari perbatasan usai dan tidak usai. Bagian dari dirimu yang merasa paling bertanggung jawab atas semua yang sudah kalian bayarkan bersama demi mengalami perjalanan hati sedahsyat itu. Dirimu yang mini, tapi keras kepala, memilih untuk tidak pergi bersama yang lain, menetap untuk terus menemani sejarah. Dan karena waktu semakin larut, tenagamu pun sudah menyurut, maka kamu akan membiarkan si kecil itu bertahan semaunya.
Mungkin, suatu saat, apabila sekelumit dirimu itu mulai kesepian dan bosan, ia akan berteriak-teriak ingin pulang. Dan kamu akan menjemputnya, lalu membiarkan sejarah membentengi dirinya dengan tembok tebal yang tak bisa lagi ditembus. Atau mungkin, ketika sebuah keajaiban mampu menguak kekeruhan ini, jadilah ia semacam mercu suar, kompas, Bintang Selatan... yang menunjukkan jalan pulang bagi hatimu untuk, akhirnya, menemuiku.
Aku, yang merasakan apa yang kau rasakan. Yang mendamba untuk mengalami. Aku, yang telah menuliskan surat-surat cinta kepadamu. Surat-surat yang tak pernah sampai."

Seperti itulah aku, yang masih mendekam diam berharap akulah tempat hatimu pulang.
Untukmu, yang selalu punya tempat terindah dalam hidupku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar